Rabu, 26 Juni 2013

Bionomik “Sarcoptes scabiei”



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, di mana pelayanan kesehatan masyarakatnya belum memadai sehubungan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Permasalahan utama yang dihadapi masih didominasi oleh penyakit infeksi yang sebagian besarnya adalah penyakit menular yang berbasis lingkungan.
Skabies ditemukan disemua Negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penyakit skabies dalam masyarakat diseluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6% - 12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Skabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei .
Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonomo dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab skabies pada tahun 1689 (Montesu dan Cottoni, 1991) . Literatur lain menyebutkan bahwa skabies diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero sekitar tiga ribu tahun yang lalu dan menyebutnya sebagai "lice in the flesh" (Alexander, 1984) . Tungau ini mampu menyerang manusia dan ternak termasuk hewan kesayangan (pet animal) maupun hewan liar (wild animal) (Pence dan Ueckermann, 2002) .


B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diketahui yaitu:
1.    Apa yang dimaksud Sarcoptes scabiei dan sumbernya?
2.    Apa akibat Sarcoptes scabiei di lingkungan?
3.    Bagaimana bionomic dari Sarcoptes scabiei?
C.   Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui Sarcoptes scabiei dan sumbernya, apa akibatnya bila Sarcoptes scabiei ada dilingkungan, dan bionomic dari Sarcoptes scabiei.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sarcoptes scabiei
1.    Klasifikasi
Sarcoptes scabiei adalah Arthropoda yang masuk ke dalam kelas Arachnida, sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Beberapa tungau sarcoptid yang bersifat obligat parasit pada kulit antara lain Sarcoptidae (mamalia), Knemidokoptidae (burung / unggas) dan Teinocoptidae (kelelawar) . Famili Sarcoptidae yang mampu menular ke manusia, yaitu S. scabiei, Notoeders cati (kucing) dan Trixacarus caviae (marmut) (Mc Carthy et al., 2004). Chakrabarti (1986) melaporkan kejadian skabies manusia akibat infestasi Notoeders cati .
2.    Morfologi
Tungau S. scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral . Tungau betina dewasa berukuran 300 - 500 x 230 - 340 μm sedangkan yang jantan berukuran 213 - 285 x 160 - 210 pm. Permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang berjalan transversal. Stadium larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan dewasa dan nimpa mempunyai empat pasang kaki (Chandler dan Read, 1989; Urquhart et al ., 1989) .
Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal kurannya, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan. Fain (1978) mempelajari perbandingan morfologi antara varian S. scabiei untuk mengidentifikasi spesies dan subspecies dari inang yang bervariasi . Sebanyak tiga puluh spesies dan lima belas varietas telah mampu didefinisikan ke dalam genus Sarcoptes. Ukuran tungau betina pada karnivora lebih kecil (320 - 390 x 250 - 300 μm) daripada tungau pada manusia (390 - 500 x 290 – 420 μm). Hasil penelitian Fain (1978) menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian di dalam spesies akibat terjadinya interbreeding yang terus menerus antara populasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan.
3.    Siklus Hidup
Siklus hidup dari telur hingga menjadi tungau dewasa memerlukan waktu 10 - 14 hari sedangkan tungau betina mampu hidup pada induk semang hingga 30 hari (Urquhart et al ., 1989). Literatur lain menyebutkan bahwa durasi siklus hidup S. scabiei berkisar 30 - 60 hari (Wendel dan Rompalo, 2002) . Tungau betina mengeluarkan telur sebanyak 40 – 50 butir dalam bentuk kelompok-kelompok, yaitu dua-dua atau empat-empat. Telur akan menetas dalam waktu tiga sampai empat hari dan hidup sebagai larva di lorong-lorong lapisan tanduk kulit . Larva akan meninggalkan lorong, bergerak ke lapisan permukaan kulit, membuat saluran-saluran lateral dan bersembunyi di dalam folikel rambut. Larva berganti kulit dalam waktu dua sampai tiga hari menjadi protonimpa dan tritonimpa yang selanjutnya menjadi dewasa dalam waktu tiga sampai enam hari (Urquhart et al ., 1989 ; Levine, 1990) .
4.    Daya tahan Sarcoptes scabiei
Menurut Arlian (1984) membuktikan bahwa tungau pada manusia dan anjing dapat bertahan hidup selama 24 - 36 jam dalam kondisi suhu ruangan (21°C, RH 40 - 80%) serta masih mampu untuk menginfestasi ulang induk semangnya . Tungau hidup berhasil ditemukan oleh Arlian. (1988) di rumah penderita skabies dan masih mempunyai daya infestasi yang cukup tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa tungau manusia mampu bertahan hidup selama tiga hari di luar induk semangnya dan mampu menginfestasi para pekerja laundry, sedangkan tungau pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al ., 1987 ; Meinking dan Taplin, 1990).
Tungau skabies lebih suka hidup didaerah yang berkulit tipis seperti sela jari, penggelangan tangan, kaki, aksila, umbilikus, penis, areola mammae dan dibawah payudara wanita. Kutu dapat hidup diluar kulit manusia hanya 2 – 3 hari dan pada suhu kamar 21 derajat celsius dengan kelembaban relatif 40 – 80%. Kutu jantan membuahi kutu betina dan kemudian mati. Kutu betina kemudian menggali lobang ke dalam epidermis membentuk terowongan didalam stratum korneum. Kecepatan menggali terowongan 1 – 5 mm/hari. Kemudian kutu betina mati di ujung terowongan. Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea, pada permukaan kulit dapat bergerak kurang lebih 2,5 centimeter permenit (Harahap, 2000).
B.   Sejarah Sarcoptes scabiei
Pakar yang pertama mengungkapkan penyakit skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel Malek Ben Zohar yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut ”soab” yang hidup pada kulit dan menimbulkan rasa gatal. Bila kulit digaruk muncul binatang kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.
Pada tahun 1687 Giovan Bonomo menyatakan bahwa seorang perempuan miskin dapat mengeluarkan ”little bladder of water” dari lesi skabies anaknya. Pada tahun 1812 Bonomo telah menemukan sercoptes skabiei yang dijelaskan oleh Meunir. Penemuan tersebut yang dibuktikan oleh temuan orang lain. Pada tahun 1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu penemuan. Gales baru diakui pada tahun 1839 dengan berhasil mendemontrasikan cara mendaptkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum (Kandun, 2000).
C.   Epidemiologi scabies
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit scabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10 – 15 tahun (Harahap, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4.6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus skabies yang merupakan 5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi scabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2000).
Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-bintik kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006). Ginanjar, 2006 menyatakan ada empat tanda kardinal yaitu :
1)    Pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2)    Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.
3)    Adanya torowongan (kunikulus) dibawah kulit yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka akan timbul gambaran pustula (bisul kecil), lokalisasi kulit ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan, siku bagian luar, kulit sekitar payudara bokong dan perut bagian bawah.
4)     Menemukan tungau pada pemeriksaan kerokan kulit, merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau ini
D.   Penularan Sarcoptes scabiei
Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularanya adalah :
1)    Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.
2)    Kontak tak langsung (melalui benda)
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut, pakaian dalam dan penderita perempuan. Skabies Norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokan/asrama dan rumah sakit jiwa karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006).
Sasaran dari Sarcoptes scabiei untuk menyebarkan penyakit yaitu :
a)    Skabies pada hewan
Kejadian skabies dapat terjadi pada semua hewan berdarah panas, seperti kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, unta, anjing dan hewan liar lainnya (Arlian 1988) . Penyebab kematian rubah merah (Vulpes vulpes), anjing hutan (coyote) dan Vombatus ursinus dilaporkan oleh Martin . (1998) dan Bates (2003) yang diduga kuat akibat penyakit skabies .
Umumnya, gejala klinis yang ditimbulkan akibat infestasi S. scabiei pada hewan hampir sama, yaitu gatal-gatal, hewan menjadi tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan akhirnya timbul peradangan kulit . Bentuk eritrema dan papula akan terlihat jelas pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi rambut . Apabila kondisi tersebut tidak diobati, maka akan terjadi penebalan dan pelipatan kulit disertai dengan timbulnya kerak (Walton, 2004). Gejala tersebut timbul kira-kira tiga minggu pascainfestasi tungau atau sejak larva membuat terowongan di dalam kulit (Sungkar, 1991) .
b)    Skabies Pada Manusia
Pada daerah tropis terutama di kalangan anak-anak dari lingkungan masyarakat yang hidup berkelompok dalam kondisi berdesak-desakan dengan tingkat higiene, sanitasi dan sosial ekonomi yang relatif rendah . Gejala klinis akibat infestasi tungau S. scabiei akan menimbulkan ruam-ruam dan rasa gatal yang parah terutama pada malam hari atau setelah mandi . Rasa gatal diduga akibat sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau . Fimiani et al. (1997) menyebutkan bahwa S. scabiei mampu memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan dalam pembuatan terowongan, aktivitas makan dan melekatkan telurnya pada terowongan tersebut . Lesi kulit berawal pada terjadinya eritrema yang terus berkembang menjadi vesikula atau pustula. Adanya terowongan di bawah lapisan kulit merupakan ciri khas dari infestasi tungau ini . Sarcoptes scabiei memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk masuk ke dalam lapisan kulit (Mc Carthy,2004) .
Umumnya tempat predileksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah sekitar alat kelamin pada pria dan daerah periareolar pada wanita. Telapak tangan, telapak kaki, wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah yang sering terserang tungau pada bayi dan anak-anak (Mc Carthy, 2004) melaporkan kasus scabies pada anak perempuan berumur delapan tahun yang disertai infeksi sekunder Staphylococcus aureus, sedangkan Currie (2004) memeriksa dua orang penduduk Aborigin (Australia) yang menderita skabies, yaitu seorang wanita berumur 36 tahun dan seorang pria berumur 47 tahun .
Selain data di atas, Podrumac (1998) dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa telah terjadi lebih dari 1000 kasus skabies di Slovenia dan 160 diantaranya adalah anak-anak . Prevalensi skabies pada anak-anak Aborigin-Australia di daerah terpencil mencapai 50% dan umumnya mereka mengalami reinfestasi tungau dari penderita lain yang belum sembuh (Currie, 2000) Penularan skabies pada manusia sama seperti cara penularan skabies pada hewan, yaitu secara kontak langsung dengan penderita . Pakaian, handuk, sprai dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita juga merupakan sumber penularan yang harus dihindari (Currie 2004).
Jumlah rata-rata tungau pada awal infestasi sekitar lima sampai sepuluh ekor, namun pada kasus skabies Kn.istasi, penderita dapat terinfestasi hingga jutaan ekor tungau (Wendel, 2002) . Tungau S. scabiei hidup dari sampel debu penderita, lantai, furniture dan tempat tidur Arlian penularan bagi manusia. Penularan dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi outbreak pada populasi manusia (Estes,1983) . Pernyataan ini didukung oleh Chakrabarti (1986) yang melaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing penderita skabies (Notoedres cati), tiga puluh diantaranya positif tertular tungau .
Ruiz(1977) melaporkan kasus skabies pada gadis berumur empat betas tahun yang tertular S. scabiei var. canis. Gadis tersebut hidup bersama dengan anjing yang menderita skabies, anjing normal juga dilaporkan tertular skabies dari gadis tersebut. Kegagalan pengobatan pada hewan piaraan (kesayangan) diduga karena reinfestasi dari manusia yang hidup bersamanya, terutama penderita dengan status atypical host. Pernyataan tersebut berdasarkan bukti bahwa, penderita skabies dengan atypical host mampu membatasi infestasi tungau dengan sendirinya (self-limiting infestations) hingga tiga betas minggu (Walton,2004).




BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Skabies pada manusia dan hewan masih menjadi kendala bagi dunia peternakan dan kesehatan manusia . Penyakit ini harus mendapat perhatian yang serius dari lembaga-lembaga terkait sehingga penyebarannya tidak semakin luas .Lemahnya piranti diagnosis dan timbulnya resistensi tungau S. scabiei terhadap bermacam-macam akarisidal menjadi tantangan bagi para peneliti untuk menemukan akarisidal alternative yang aman bagi penderita dan bersifat rama lingkungan. Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-bintik kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006). Sasaran dari Sarcoptes scabiei untuk menyebarkan penyakit yaitu pada hewan dan manusia.
B.   Saran
Penyakit akibat Sarcoptes scabiei ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah. Maka dari itu kebersihan harus di tingkatkan, dari diri sendiri dan lingkungan sekolah. Agar Sarcoptes scabiei tidak mengganggu kesehatan manusia maupun hewan peliharaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar